Miopia Booming, Krisis Kesehatan Masyarakat Abad 21

By: hardi

dr. Avie Andriyani- KD

foto; istimewa

Ledakan miopia tak dipungkiri menjadi suatu krisis kesehatan masyarakat pada abad ke-21. Dan, diprediksi setengah populasi dunia akan menggunakan kacamata minus di tahun 2050.

Miopia booming atau mata minus (rabun jauh) dialami oleh beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Hasil penelitian di tahun 2016 menunjukkan 28% atau sekitar 2 miliar penduduk dunia mengalami mata minus. WHO (World Health Organization) memperkirakan setengah populasi dunia akan menggunakan kacamata minus di tahun 2050.

Pertambahan jumlah kasus mata minus pada usia anak terjadi sangat pesat. Di tahun 2019, Universitas Gadjah Mada melaporkan hasil penelitian pada 312 anak, 41% di antaranya mengalami mata minus, dan 21% mengalami gangguan refraksi penglihatan berat. Itu artinya, hampir setengah dari anak yang diteliti mengalami mata minus.

Anak-anak dengan fungsi penglihatan yang tidak normal akan mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas bermain dan belajarnya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sebagai orang tua mengetahui langkah apa saja yang bisa ditempuh utuk menjaga kesehatan mata anak kita.

Sistem Penglihatan pada Anak

Perkembangan sistem penglihatan pada anak memiliki beberapa fase, yaitu fase cepat dan lambat. Pada usia kurang dari 3 tahun, anak mengalami fase cepat atau yang disebut juga fase kritis. Sedangkan usia 3 hingga <6 tahun merupakan fase lambat perkembangan sistem penglihatannya. Setelah usia 6 tahun, perkembangan hanya mendatar saja.

Jika gangguan penglihatan pada usia awal perkembangan tidak mendapatkan penanganan tepat. Maka, akan berakibat terjadinya lazy eye atau mata malas (ambliopia), yaitu suatu kelainan mata yang secara anatomis bagus, namun fungsinya tidak 100%. Artinya, kemampuan melihat anak tidak maksimal yang disebabkan retina atau saraf mata ketika usia balita tidak mendapat rangsangan yang cukup.

Misalkan, seorang anak berusia 3 tahun yang matanya minus, tapi tidak mendapat bantuan kacamata minus. Maka, retinanya tidak pernah dilatih untuk melihat dengan benar. Bila dibiarkan terus sampai usia 5 tahun, maka akan terjadi “kemalasan” retina, yaitu mata gagal mencapai ketajaman visual normal, bahkan meski dibantu dengan kacamata atau lensa kontak.

Kenali Gejalanya

Anak sering memicingkan mata saat melihat obyek yang jauh bisa jadi pertanda ada masalah pada fungsi penglihatannya. Pada anak yang sudah bersekolah, kita bisa menanyakan kebiasaan anak pada gurunya. Apakah anak terlihat kesulitan membaca tulisan di papan tulis atau tidak.

Menurunnya prestasi anak di sekolah karena tidak bisa mencatat dan menyimak penjelasan guru di papan tulis juga bisa menjadi salah satu indikasi. Selain itu, tentu saja kita bisa menanyakan langsung pada anak. Ketika kita dapati anak kita memicingkan mata atau membaca buku dengan jarak yang sangat dekat, kita bisa langsung menanyakannya mengapa ia melakukan hal tersebut.

Coba jauhkan jarak buku dan tanyakan kembali apakah ia masih bisa membaca tulisan  di buku tersebut. Pada anak yang masih sangat kecil biasanya belum terlalu terganggu dengan kondisi matanya, sehingga ia tidak mengeluh. Tentunya, sebagai orang tua harus lebih jeli dalam memperhatikan kebiasaan anak ketika melihat.

Apa Pemicunya?

Kondisi mata minus atau rabun jauh bisa dipicu oleh berbagai faktor seperti faktor keturunan, kebiasaan buruk anak yaitu terlalu dekat ketika melihat suatu obyek, membaca sambil tiduran, belajar dengan pencahayaan yang kurang, dan tentunya penggunaan gadget (gawai) berlebihan.

Selain itu, kurangnya aktivitas bermain di luar juga makin memperbesar kemungkinan anak mengalami mata minus. Pada saat anak bermain di luar rumah, anak akan memandang ruang yang luas dengan jarak pandang tak terhingga, sehingga anak akan terlatih memfokuskan pandangan pada obyek yang jauh. Hal ini sangat bermanfaat  untuk kesehatan mata anak-anak kita.

Kondisi pandemi Covid-19 ikut berkontribusi pada kejadian miopia booming terkait dengan kebijakan belajar online dari rumah. Anak-anak terpaksa menatap gawai seperti ponsel, tablet, atau komputer selama pembelajaran berlangsung. Jarak mata yang terlalu dekat dengan layar, waktu layar (screen time) berlebihan, dan paparan cahaya terus menerus pada mata anak menjadi faktor risiko yang mengakibatkan banyaknya anak mengalami mata minus.

Kutu Buku vs Kecanduan Gadget

Beberapa tahun lalu sebelum gadget merajalela, penggunaan kacamata pada anak belum sebanyak sekarang. Anak yang memakai kacamata akan dianggap sebagai anak pintar dan kutu buku. Berbeda kondisinya dengan zaman sekarang ini, banyaknya angka pemakaian kacamata pada usia anak, justru lebih dikaitkan dengan penggunaan gawai berlebihan, tidak lagi karena seringnya membaca buku.

Salah satu faktor risiko yang memicu mata minus adalah perubahan gaya hidup manusia terkait pekerjaan membaca (book work). Peningkatan kasus mata minus mencerminkan tren anak-anak di berbagai negara yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca, belajar, atau terpaku pada komputer dan ponsel. Anak di Asia menunjukkan angka yang lebih tinggi dalam waktu membaca ini, yaitu 14 jam per pekan, dibanding anak di inggris 5 jam per pekan, dan anak di Amerika 6 jam per pekan.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Segera periksakan ke dokter mata jika mendapati gejala yang mengarah pada gangguan penglihatan pada anak. Dokter akan melakukan beberapa tahap pemeriksaan mata yang sedikit berbeda dengan pemeriksaan pada orang dewasa. Jangan sembarangan memakaikan kacamata pada anak dan selalu beli lensa kacamata sesuai dengan resep dokter mata.

Sedangkan masalah model frame atau bingkai kacamata hendaknya dipilih yang sesuai dengan bentuk wajah sehingga tidak mengurangi rasa percaya diri anak. Bisa juga ditambahkan tali penggantung untuk menghindari terjatuhnya kacamata ketika anak beraktivitas. Pastikan juga bingkai kacamatanya tidak menimbulkan alergi jika anak memang memiliki jenis kulit yang sensitif.

Perbanyak Aktivitas Bermain di Luar

Untuk mengatasi makin mewabahnya miopia ini, bermain di luar menjadi salah satu pilihan tepat. Anak Zaman Now terbukti lebih jarang bermain di luar rumah. Berbeda dengan masa kecil orang-orang zaman dulu yang lebih banyak dihabiskan untuk bermain di tanah lapang, memanjat pohon, atau bersepeda keliling kampung.

Sempatkan waktu untuk mengajak anak bermain di luar rumah dan di bawah paparan sinar matahari. Aktivitas di luar ruangan terbukti akan mengurangi progresivitas atau makin memburuknya miopia.

Buat Aturan dan Batasi Screen Time

Orang tua juga diharapkan dapat membuat aturan yang ketat terkait penggunaan gawai. Buat perjanjian dengan anak masalah waktu layar atau screen time. Anak usia di bawah 1 tahun belum boleh terpapar layar gawai, anak usia 1-2 tahun hanya boleh menatap layar selama 1 jam, dan usia 2-6 tahun sekitar 2 jam setiap harinya.

 Ajarkan anak untuk menggunakan aturan 20-20-20, yaitu mengistirahatkan mata setiap 20 menit, dengan menatap objek sejauh 20 kaki selama 20 detik. Objek yang bisa menenangkan mata adalah yang berwarna hijau seperti rumput dan tanaman hijau.

Bagi orang tua yang anaknya sudah terlanjur menggunakan kacamata, maka tempuh cara-cara untuk mencegah minusnya tidak semakin bertambah dengan mengajak anak bermain di luar ruangan dan membatasi waktu menggunakan gawai.

Selain itu, yang terpenting ajarkan anak untuk tetap bersyukur dengan kondisi penglihatannya saat ini. Berikan semangat dan motivasi bahwa anak tetap bisa beraktivitas seperti teman-temannya yang lain. Meski, dengan menggunakan kacamata. Semoga bermanfaat.(sbn)

Referensi :

https://mediaindonesia.com/humaniora/531810/fenomena-myopia-booming-kurang-disadari-oleh-masyarakat-indonesia