dr. Avie Andriyani
Bekasi, berbagi.hsi.id– Kasus bullying yang kerap terjadi hingga saat ini, pada akhirnya tidak hanya mengundang simpati dan dukungan untuk korbannya. Namun, juga memicu kemarahan dan cemoohan untuk pelakunya. Jika pihak yang dirundung hanyalah korban yang pasif dalam menerima perundungan, maka pelaku bullying merupakan pihak yang aktif melakukan aksi perundungan.
Mengapa seseorang memilih jadi pelaku bullying? Benarkah pola asuh dan lingkungan ikut memengaruhi? Terkait hal ini, adakah hubungannya dengan kondisi kesehatan mental seseorang?
Pemicu Tindakan Bullying
Bullying atau sering disebut juga sebagai pembulian, perundungan, perisakan, atau penindasan diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain dengan tujuan menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.
Perilaku ini bertujuan untuk menyakiti secara fisik, mental, ataupun seksual. Berikut ini beberapa pemicu sehingga seseorang menjadi pelaku bullying :
- Berada di lingkungan yang menganggap tindakan bullying adalah hal biasa. Lingkungan Toxic (buruk) seperti ini biasanya minim pendidikan moral dan punya budaya senioritas tinggi. Orang-orang yang terlibat di dalamnya terkadang tidak sadar telah melakukan tindakan bullying atau menjadi korbannya. Tindakan pembulian yang dianggap lumrah ini, akhirnya justru sengaja dilakukan supaya bisa diterima di lingkungannya.
- Pernah manjadi pelaku pasif bullying. Misalnya; menyaksikan tindakan bullying atau menjadi suporter ketika sedang ada perundungan. Pengalaman tersebut bisa memicu seseorang jadi pelaku bullying ketika ada kesempatan.
- Pernah menjadi korban bullying. Seorang korban bullying bisa beralih peran menjadi pelaku karena ingin melampiaskan dendamnya.
- Pola asuh orang tua yang keras atau kasar. Seorang anak yang terbiasa menerima hukuman verbal maupun fisik memiliki kecenderungan bersikap agresif, kasar, dan mudah marah. Hal ini akan memicu keinginan melampiaskan emosi negatif pada orang lain yang dianggap lemah.
- Mengalami penelantaran di masa kecilnya. Seseorang yang tidak mendapat perhatian cukup dari orang tua atau bahkan ditelantarkan memiliki kecenderungan haus akan perhatian. Salah satu cara yang dipilih biasanya dengan membuat masalah dan mengganggu orang lain.
- Terlahir dari keluarga yang punya kekuasaan atau harta. Seseorang yang memegang kekuasaan cenderung lebih suka merendahkan dan menindas yang lemah. Pada akhirnya kelebihan harta dan kekuasaan justru digunakan untuk melakukan bullying.
- Kurangnya pendidikan agama dan akhlak. Seseorang yang tidak dibekali dengan ilmu agama dan tidak dibiasakan berakhlak baik, cenderung sering melakukan bullying.
- Pengaruh game atau media sosial toxic. Kebiasaan melihat game kekerasan dan bergaul dengan para gamers yang sering mengumpat akan memengaruhi seseorang untuk enteng saja ketika melakukan kekerasan fisik dan verbal pada orang lain.
Tentu, masih banyak alasan seseorang memiliki kecenderungan melakukan bullying, namun yang harus dicatat adalah hal-hal tersebut sifatnya hanya pemicu dan bukan penyebab tunggal. Banyak anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya namun memilih untuk tidak menjadi pelaku kekerasan juga. Ada pula anak pejabat yang tidak memanfaatkan jabatan orang tuanya untuk menindas orang lain.
Benarkah Pelaku Bullying Mengalami Gangguan Kejiwaan?
Beberapa pelaku bullying ternyata berasal dari keluarga baik-baik, bahkan ada juga yang berprestasi dan jago ngaji. Ketika semua pemicu yang menyebabkan seseorang melakukan perundungan bisa disingkirkan, masih ada kemungkinan lain yaitu terkait dengan gangguan kejiwaan.
Meskipun kebanyakan pelaku melakukan bullying, bukan hanya karena satu pemicu saja, namun salah satu gangguan jiwa ini cukup menyita perhatian para ahli. Psikolog dan psikiater anak telah mengamati dan meneliti perilaku bullying, hinggga menemukan adanya gangguan kejiwaan yang memicu seseorang melakukan bullying.
Gangguan kejiwaan ini disebut ‘Oppositional Defiant Disorder’(ODD), yaitu gangguan perilaku dengan karakteristik suka menentang dan tidak taat pada figur otoritas. Jadi anak lebih mudah marah dan kasar bahkan kepada orang yang lebih tua atau yang seharusnya dihormati, seperti orang tua, guru, atau orang dewasa lain.
Gangguan ODD ini belum diketahui pasti penyebabnya, namun kemungkinan melibatkan perpaduan antara faktor keturunan (genetik), biologis, dan lingkungan. Penelitian menemukan bahwa faktor genetika memengaruhi 50% dari kemunculan ODD. Faktor biologis berupa perubahan struktur otak di area tertentu, juga terbukti menyebabkan gangguan perilaku.
Selain itu, ketidakseimbangan zat-zat neurotransmitter otak bisa mengganggu koneksi antar sel-sel saraf dan memunculkan gejala ODD. Perkembangan ODD turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pola asuh orang tua, pengaruh pergaulan dengan teman dan kekerasan di sekitarnya.
Kriteria ODD berdasarkan Pedoman Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, sebagai berikut :
- Mudah tersulut emosi
- Tidak sabar ketika menghadapi sesuatu
- Sensitif, mudah tersinggung dan terganggu
- Suka membantah dan menantang
- Suka berdebat
- Secara aktif dan terang-terangan menolak mematuhi aturan dari orang dewasa atau pihak yang berwenang
- Sering sengaja mengganggu atau membuat orang lain jadi tidak nyaman
- Pendendam dan suka dengki
- Menunjukkan perilaku dendam atau dengki setidaknya dua kali dalam enam bulan terakhir
ODD yang tidak ditangani dengan baik di usia anak-anak bisa berlanjut hingga dewasa, bahkan bisa memicu gangguan perilaku yang lebih agresif. ODD bisa memicu seorang remaja terjerumus pada narkoba, perilaku kriminal, dan dorongan untuk bunuh diri. Sebaiknya orang tua segera membawa anak ke dokter ahli atau psikolog jika menemukan gejala yang mengarah pada gangguan ODD supaya tidak berakibat semakin parah.(sbn)