dr. Avie Andriyani
“Gak usah ikut campur, ini urusan rumah tangga!”
Pernah mendengar kalimat seperti itu? Gertakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang cukup efektif membuat para tetangga mundur teratur, dan tidak jadi menolong korban. Sayangnya, penyesalan baru muncul, ketika sudah ada korban jiwa akibat KDRT tersebut. Sementara, tetangga terdekat di sebelah kanan dan kiri korban hanya bisa diam.
Kini, KDRT bukan lagi ranah privat yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sesuai dengan apa yang terkandung dalam UU nomor 23 tahun 2004, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kita memang tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi jika masalah yang dimaksud adalah KDRT. Maka, kita boleh bahkan harus memberi perhatian demi keselamatan dan keadilan untuk para korbannya.
KDRT tak ubahnya seperti ‘monster’ yang menakutkan. Korbannya, bahkan bisa mengalami trauma psikis berkepanjangan (Post Traumatic Disorder/PTSD) jika tidak diatasi dengan benar akan berpotensi menjadi dendam, sehingga korban KDRT hari ini berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari. Lantas, apakah trauma dapat disembuhkan dan bagaimana caranya supaya bisa berdamai dengan masa lalu dan menatap masa depan tanpa rasa takut dan ragu?
Sebagai catatan, sepanjang tahun 2022 hingga bulan Oktober sudah ada 18.261 kasus KDRT yang ditangani oleh Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Tingginya angka KDRT masih didominasi dengan kekerasan terhadap Perempuan. Tentu saja, karena perempuan memiliki posisi yang lemah baik secara fisik, maupun perannya dalam keluarga. Bahkan data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 1 dari 3 wanita di dunia pernah mengalami kekerasan sepanjang perjalanan hidupnya.
Tentang KDRT dan Bentuk Kekerasannya
Kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal sebagai KDRT didefinisikan sebagai sebuah tindakan memberikan penderitaan fisik, maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang masih ada hubungan keluarga (karena perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian) dan tinggal serumah. Kekerasannya dilakukan di dalam rumah dan bisa terhadap pasangan, anak, orang tua atau saudara.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi bisa berupa :
- Kekerasan fisik meliputi kekerasan fisik ringan seperti mencubit, menampar, mendorong yang dampaknya berupa cidera ringan, dan kekerasan fisik berat seperti menendang, memukul yang berakibat fatal seperti terjadi cidera berat, kelumpuhan, kecacatan, hingga kematian.
- Kekerasan psikis atau mental, meliputi kekerasan psikis ringan seperti mengejek, menghina yang berakibat kurangnya percaya diri, dan kekerasan psikis berat seperti intimidasi, ancaman yang mengakibatkan terjadinya depresi, hingga perasaan ingin bunuh diri.
- Kekerasan seksual, meliputi kekerasan seksual ringan seperti melecehkan secara verbal yang berakibat korbannya merasa terhina, dan kekerasan seksual berat seperti memaksakan hubungan seksual yang disertai dengan kekerasan.
- Kekerasan ekonomi meliputi kekerasan ekonomi ringan seperti menelantarkan kebutuhan ekonomi keluarga, dan kekerasan ekonomi berat seperti merampas, memanipulasi dan mengeksploitasi harta korbannya.
Mengapa KDRT Terjadi?
Sebuah keluarga yang seharusnya penuh kasih sayang justru bisa menjadi sumber penderitaan ketika terjadi kekerasan di dalamnya. Rumah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan hangat. Justru, berubah menjadi tempat penyiksaan baik fisik maupun mental. KDRT bukan semata masalah manajemen emosi yang buruk, tapi ada banyak faktor yang melatarbelakanginya, antara lain :
- Pemahaman yang keliru dalam pembagian peran dalam keluarga, sehingga ada pihak yang berkuasa atau merasa kuat. Sehingga bisa melakukan kekerasan dengan leluasa kepada pihak yang dianggap lemah.
- Faktor trauma masa lalu pelaku KDRT yang tidak ditangani, korban KDRT akhirnya menjadi pelaku KDRT di kemudian hari.
- Faktor pemakluman karena terbiasa dengan pola pengasuhan yang diwarnai dengan kekerasan.
- Faktor usia pernikahan yang terlalu dini, menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang ilmu berumahtangga.
- Faktor kesulitan ekonomi, menimbulkan tekanan mental dan seseorang menjadi lebih mudah melakukan kekerasan untuk melampiaskan amarahnya.
Pelaku dan Korban KDRT
Perempuan masih menjadi korban terbanyak dalam kasus KDRT, seperti yang tercatat di kementrian PPPA ada 16.745 dari 18.261 kasus atau sekitar 79,5 % korbannya adalah perempuan. Meskipun begitu, tercatat juga ada korban dengan gender laki-laki. Hal ini membuktikan siapa saja bisa jadi korban tanpa melihat gendernya.
Mereka berpotensi menjadi pelaku dan korban KDRT, karena tidak selalu suami yang menjadi pelaku dan tidak mesti perempuan adalah korbannya. Korban KDRT dari kalangan anak-anak juga cukup banyak seperti yang dilaporkan dalam rilis SNPHAR (Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja) tahun 2021, yaitu 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki, dan 41,05 % atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13 hingga17 tahun mengalami kekerasan dalam bentuk apapun dalam hidupnya.
Akibat KDRT
KDRT memberikan dampak fisik dan mental pada korbannya. Dampak fisik, mulai dari rasa sakit, luka ringan, luka berat, kecacatan, kelumpuhan, hingga kematian. Dampak psikis, mulai dari rasa malu, takut, kurang percaya diri, perasaan tidak berharga, keinginan mencelakai diri sendiri, dan bunuh diri.
Rasa sakit di badan bisa saja hanya dirasakan sementara, bekas tamparan mungkin akan hilang dalam beberapa hari, tapi rasa takut, cemas, dan trauma psikis yang dialami korban seringkali justru lebih berat dibanding dampak fisiknya.
Tingkat keparahan akibat KDRT bisa bervariasi pada setiap korbannya tergantung beberapa hal berikut ini :
- Intensitas KDRT, semakin sering dilakukan maka dampaknya akan semakin berat.
- Jenis kekerasan, semakin berat maka dampaknya akan semakin parah bahkan bisa berujung kematian korbannya.
- Hubungan kekerabatan, semakin dekat maka ancaman dan rasa trauma yang dirasakan akan semakin berat.
- Jumlah pelaku, semakin banyak yang melakukan kekerasan. Maka efek traumanya akan semakin dalam karena korban merasa dia memang pantas diperlakukan buruk oleh semua orang.
- Tersebarnya kekerasan, semakin luas disebarkan maka efeknya makin parah. Seringkali terkait dengan intimidasi atau ancaman penyebarluasan aib korban lewat media sosial.
- Tingkat ketahanan mental, semakin lemah ketahanan mental seseorang, dampaknya akan semakin hebat.
Apa Saja Gejala Stres Pasca Trauma?
Seseorang yang mengalami KDRT atau peristiwa traumatik lainnya berisiko mengalami stres pasca trauma atau dalam istilah ilmu kesehatan jiwa disebut PTSD (Post Traumatic Disorder). PTSD merupakan salah satu kondisi stres mental yang dipicu oleh trauma masa lalu. Peristiwa traumatik memicu rasa tidak aman pada korbannya.
Amygdala yaitu bagian otak yang berfungsi sebagai ‘alarm’ ketika ada sesuatu yang mengancam, merespon stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik secara berlebihan. Korban KDRT akan sensitif ketika mendengar suara keras atau dalam situasi yang mengingatkan dia pada peristiwa kekerasan. Ada 3 ciri utama PTSD yaitu :
- Avoidance, yaitu berusaha menghindari orang atau situasi pencetus trauma.
- Hypervigilance, yaitu perasaan waspada berlebihan.
- Flash back, yaitu mengalami mimpi buruk atau tiba-tiba teringat dan seperti kembali melihat peristiwa traumatis.
Beberapa respon yang bisa muncul akibat munculnya PTSD antara lain :
- Respon fisik : dada berdebar-debar, nafas pendek hingga sesak nafas, mengeluarkan keringat dingin, sakit kepala.
- Respon pikiran : pikiran jadi kacau, tidak bisa berpikir jernih, sulit konsentrasi, tidak bisa berpikir logis
- Respon perasaan : sedih, takut, cemas dan merasa terancam.
- Respon perilaku : menghindar, gemetar, tidak bisa tenang
Memutus Mata Rantai KDRT
Pernah menemui ada orang yang tidak mau menikah, karena trauma melihat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Atau kasus seorang ibu yang temperamental karena pernah menjadi korban kekerasan kedua orang tuanya ketika masih kecil? Sebuah kekerasan tidak pernah dibenarkan meskipun dilakukan oleh orang terdekat. Trauma yang muncul bahkan bisa jadi lebih hebat karena sosok orang terdekat yang seharusnya mengayomi justru menyakiti.
Trauma mendalam akibat KDRT seringkali berulang dan terus berlanjut, karena trauma yang tidak teratasi berubah menjadi dendam yang akan dilampiaskan ketika ada kesempatan. Oleh karena itu, pentingnya trauma healing untuk memutus mata rantai KDRT supaya dampaknya tidak terus menyebar. Korban KDRT berpotensi menjadi pelaku KDRT dikemudian hari, hal ini terus berulang dan berputar.
Menurut American Psychological Association, sebuah asosiasi psikologi di Amerika, trauma healing adalah sebuah upaya penyembuhan trauma atau reaksi emosional yang muncul akibat adanya peristiwa yang mengerikan atau tidak menyenangkan. Penyebab trauma bisa beraneka ragam, tapi dalam pembahasan kali ini akan dibatasi pada trauma akibat KDRT. Karena, trauma tidak hanya dialami oleh korban yang merasakan kekerasan secara langsung, bisa juga dialami oleh orang-orang sekitarnya yang menyaksikan.
Ada beberapa tahapan dalam trauma healing yang bisa dilakukan ketika mengalami KDRT :
Proses penerimaan diri, yaitu proses menyadari bahwa dirinya adalah korban KDRT dan tidak seharusnya hanya diam saja. Tidak satupun orang di dunia ini yang pantas untuk disakiti baik secara fisik maupun mental. Seringkali korban KDRT menormalisasi perbuatan kekerasan yang diterima karena merasa dia pantas dihukum, disakiti, dan dihina. Akhirnya semua pengalaman kekerasan yang terjadi hanya akan direkam dan disimpan sendiri sebagai bentuk trauma dan luka batin.
Speak Up! Bicaralah dan sampaikan pada orang lain yang bisa membantu. Pastikan orang tersebut bisa dipercaya dan punya kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan KDRT.
Proses memaafkan, yaitu tahapan melepaskan trauma dengan cara memaafkan pelaku dengan syarat permasalahan KDRT sudah diselesaikan, misal pelaku sudah diamankan dan mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Tidak semua proses KDRT selesai di kantor polisi, terkadang ada mediasi yang berujung perdamaian. Dengan catatan pelaku harus menjaga jarak dari korban supaya tidak terulang kembali. Proses memaafkan disini bukan berarti membebaskan pelaku dari semua tanggung jawab atas perbuatannya, tapi lebih kepada melepaskan beban yang akan berdampak buruk pada korban jika terus menerus dibawa. Dengan memaafkan, korban terhindar dari perasaan dendam, sehingga dirinya tidak akan melakukan kekerasan sebagai pelampiasan di kemudian hari.
Mengalihkan pikiran negatif, dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan menyenangkan, seperti menjalankan hobi, belajar, dan bekerja. Seseorang yang bahagia dan selalu berpikir positif akan lebih mudah melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya.
Menyebutkan atau menuliskan hal-hal yang patut disyukuri dalam hidup. Dengan banyak bersyukur, cobaan hidup yang dilalui akan terasa lebih ringan. Hal ini akan mempercepat proses penyembuhan terhadap trauma yang dialami korban KDRT.
Konsultasi dengan ahlinya (psikolog, psikiatri) ketika merasa dampak KDRT makin hebat, seperti muncul perasaan cemas, panik, takut berlebihan, gangguan tidur, dan perasaan ingin bunuh diri.
KDRT Bukan Lagi Masalah Privat
Kementrian PPPA menghimbau masyarakat untuk berperan aktif melapor jika menyaksikan atau mendengar dugaan adanya KDRT. KDRT bukan lagi masalah privat yang tidak boleh dicampuri orang lain. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya UU nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat bisa melapor melalui hotline SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129.
Selain itu, melaporkan kepada pihak yang berwenang jika korban merasa terancam atau bentuk KDRT yang terjadi mengakibatkan luka atau mengancam jiwa. Visum dokter mungkin akan dibutuhkan untuk melengkapi berkas laporan. Ketika ada bekas-bekas penganiayaan atau pelecehan, dapat segera melakukan visum ke dokter di Rumah Sakit.
Pentingnya Ilmu Agama
Korban KDRT perlu mendapatkan bantuan untuk mengatasi traumanya, karena membiarkan saja dan berharap trauma akan hilang sendiri seiring dengan berjalannya waktu ternyata tidak cukup efektif. Keluarga, masyarakat dan pemerintah lewat kementrian PPPA terus bersinergi dan berperan aktif dalam memberikan perhatian dalam rangka menyembuhkan trauma para korban KDRT.
Berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka KDRT, salah satunya dengan menyiapkan individu yang akan berumahtangga dengan ilmu agama. Sehingga KDRT bisa dicegah. Peran serta ulama dan orang tua sangat dibutuhkan dalam memberikan edukasi. Bagaimana Islam mengajarkan cara berinteraksi dengan pasangan dan anak, berlemah lembut, bertanggung jawab, dan bekerja sama. Sehingga terwujud rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. (sbn)
Referensi :
https://bunghatta.ac.id/artikel-226-tindak-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html